Senin, 14 April 2014

Empat Miliar Dolar Guyur Likuditas Bank Nasional di 2008: Bailout Century Tak Ada Apa-apanya

ADA cerita menarik di balik klaim sejumlah pihak yang menyebut suntikan dana pemerintah lewat bailout Bank Century pada 2008 senilai Rp 6,7 T mampu menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman krisis ekonomi global pada medio 2008 silam. Badai subprime mortgage crisis disebutkan hampir saja secara sistemik melumpuhkan aktivitas perbankan nasional. Dikhawatirkan, itu akan memicu krisis di pelbagai sektor nasional kala itu. Hanya, klaim tersebut berbuntut panjang. Sejumlah fakta di persidangan kasus Century justru mempertanyakan, apakah benar keputusan itu yang membuat Indonesia secara ekonomi selamat dari krisis?
MANTAN Kepala BP Migas, Raden Priyono hanya tersenyum mendengar soal klaim tersebut. Ia menuturkan punya pengalaman berbeda. Ia secara tidak langsung menggarisbawahi ekonomi Indonesia dalam keadaan aman-aman saja pada waktu itu. Sehingga, keputusan atas Century sebenarnya cenderung kontroversial dan tak yakin keputusan itu yang jadi ‘penyelamat’.
Priyono punya data, di rentang waktu yang tak jauh berbeda dari keputusan kontroversial bailout Century , sebagai Kepala BPMigas, dirinya membuat keputusan radikal agar perbankan nasional memiliki ‘darah’ segar atas kelesuan ‘kapital’ di level nasional.
Kepada Tribunnews.com, Priyono mengisahkan, untuk menyelamatkan Indonesia agar tidak terulang kasus krisis ekonomi 1997 -1998, ia memerintahkan para pelaku sektor migas terutama asing untuk menggunakan perbankan nasional. Lewat cara itu, ia berkeyakinan, Indonesia akan terhindarkan dari terulangnya krisis finansial tersebut.
“Perbankan Indonesia nyaris kolaps oleh penarikan uang (rush-red) dalam jumlah besar. Indikator yang jelas adalah kenaikan harga minyak yang mencapai $ 140 / barrel dan ini mempengaruhi kekuatan ekonomi Indonesia. Ancaman terburuknya, kondisi ekonomi Indonesia pada waktu itu mirip krismon 98. Di antara seluruh industri ekonomi yang ada di Indonesia, industri migas dapat dianggap tidak terpengaruh dengan kondisi tersebut,” kata Priyono saat berbincang dengan Tribunnews.com, Minggu (13/4/2014) kemarin.
Menurut Priyono, harus ada langkah radikal yang diambil terutama terkait dengan industri migas untuk membantu perekonomian Indonesia. Sungguh ironi, ketika miliaran dolar hilir mudik di perbankan asing yang digunkan kontraktor asing, Indonesia berada pada ancaman keruntuhan ekonomi.
Oleh karena itu, niat Priyono adalah bagaimana arus peredaran uang di sektor Migas bisa secara aktif mengalir di perbankan nasional dan itu artinya ada pasokan “fresh dollar” sebagai penyangga ekonomi Indonesia. Ini cukup radikal dilakukan oleh seorang Priyono, yang baru tiga bulan menjabat sebagai Kepala BPMigas, sejak 29 April 2008.
“Perusahaan asing di Indonesia punya banyak duit, tapi semua transaksi melalui bank asing, seperti HSBC, Citibank, Bank Exim Amerika. Perbankan kita terancam kolaps kalau perekonomian Indonesia tidak ditolong. Harus ada suntikan dana segar dengan cara yang tepat dan efektif dll,” papar Priyono.
Karena itu, di rentang waktu Juni 2008, ia mengumpulkan para kontraktor kontrak kerja sama (K3S) di Bimasena, Dharmawangsa Hotel. Di sana disampaikan, BP Migas akan membuat peraturan yang mewajibkan para K3S untuk bertransaksi lewat perbankan nasional.
Secara teknis, BPMigas juga mewajibkan para perusahaan minyak untuk menyimpan dana abandonment dan site restoration mereka di bank-bank nasional. Dana abondement adalah yang harus dicadangkan K3S untuk membongkar sejumlah infrastuktur yang digunakan dalam operasional permigasan ketika wilayah kerja sudah tak lagi digunakan. Adapun dana site restoration adalah dana untuk rehabilitasi lingkungan di wilayah kerja migas.
Lalu apa reaksi para kontraktor (K3S)? 
“Jelas menolak. Alasannya banyak, mulai dari tingkat keamanan hingga persoalan IT perbankan nasional yang dibilang kuno,” kata Priyono.
Namun penolakan para K3S tak membuat niat Priyono surut. Ia malah ‘mengancam’ perusahaan yang enggan menggunakan bank nasional sebagai tempat transaksi, akan dikeluarkan dari bisnis permigasan Indonesia.
“Saya bilang ke mereka, saya hanya memberitahu, bukan meminta persetujuan. Jika memang tak mau bertransaksi lewat perbankan nasional maka Indonesia tak akan membayarkan cost recovery yang telah K3S keluarkan,” ungkap Priyono.
Namun, 'ancaman' Priyono tersebut juga ditindaklanjuti lewat ‘gerakan penyadaran’ ke pihak perbankan nasional yakni Bank BRI, Bank BNI, dan Bank Mandiri. Priyono juga menyebut dirinya langsung mengontak Agus Martowardojo yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri.
“Saya bilang, ‘Pak Agus siap gak? Perbaiki sistem IT dan sumber daya yang ada’. Dia bilang siap. Meski harus bermodal sedikit, akhirnya Bank Mandiri benar-benar siap meladeni sektor Migas dalam waktu cukup singkat,” kata Priyono.
Selesaikah usaha dari Priyono? Belum, ia menyebut niat dirinya itu juga mendapat penolakan dari Federal Reserve di Amerika. Priyono bahkan dipanggil dalam forum WTO untuk dimintai penjelasan. Dubes Amerika untuk Indonesia saat itu, kata Priyono, juga meminta penjelasan.
Rupanya muncul kekhawatiran, berpindahnya arus uang dari bank asing ke bank nasional akan menggangu stabilitas keuangan AS. Belakangan diketahui, lewat cara ini Citibank dan HSBC kehilangan nilai transaksi sebesar 60 persen dari perputaran uang di permigasan Indonesia.
Secara lugas, Priyono menjawab semua tentangan itu. Ia menyatakan hanya meminta hak Indonesia atas migas yang tergantung di wilayah RI. Konsep tax and royalty yang berlaku di negara lain soal migas, tak berlaku di Indonesia.
“Kita pakai konsep bagi hasil. K3S mendapat hak pengelolaan. Bila ada hasil, ongkos operasional migas diganti semua oleh Indonesia. Migas yang keluar dibagi dengan K3S dengan persentase yang menguntungkan negara selaku pemilik migas. Negara tak mengeluarkan uang, pembayaran dikeluarkan setelah perusahaan dapat untung. Pedoman Tata Kerja BPmigas sangat berpihak pada nasional. Kontrak bagi hasil, dibayarkan oleh negara. Karena itu, dalam kondisi ekonomi saat itu, kita harus membantu negara, state concern,” ulas Priyono.
Penjelasan Priyono bisa diterima, sang dubes bahkan meminta maaf karena tak terlalu mengetahui seluk-beluk permigasan di Indonesia. Terhitung Juli 2008, Bp Migas sudah menerapkan aturan soal penggunaan bank nasional dalam aktivitas permigasan di Indonesia. Konsep bagi hasil lewat aturan cost recovery membuat Indonesia punya kekuasaan mengatur para perusahaan yang mengambil migas dari tanah republik ini.

Hasilnya? Tak main-main, Priyono menyebut perbankan nasional lewat tiga bank tersebut mendapat guyuran likuditas sekira empat ribu juta alias empat miliar dolar Amerika. Adapun Agus Martowardojo, meraih penghargaan selaku best banker tahun 2008 saat itu.
Atas hal itu, Priyono menyebut, jika pun bailout Century dilakukan lewat prosedur benar, nilai Rp 6,7 T 'tak ada apa-apanya' dibanding peralihan perputaran uang migas Indonesia dari bank asing ke bank nasional.
"Lepas dari permasalahan bailout Century, intinya adalah bagaimana kita punya niat untuk benar-benar secara bersama-sama membawa bangsa ini ke arah kemajuan. Bukan sekadar mencari devisa. Indonesia incorporated, agar bagian-bagian dari bangsa ini maju sama-sama. Bukan malah jomplang," kata Priyono.
Langkah 'radikal' Priyono untuk mengganti penggunaan bank asing ke bank nasional dalam transaksi migas Indonesia, diikuti langkah lanjutan. Diketahui BPmigas saat itu juga menyusun peraturan pengadaan barang dan jasa yang akan memperhitungkan tambahan Tingkat Komponen Dalam Negri hingga 10 persen bagi K3S yang menggunakan kredit dari Bank BUMN.
sumber : https://id.berita.yahoo.com/empat-miliar-dolar-guyur-likuditas-bank-nasional-di-225316695.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cahayu Organizer

Cahayu Organizer
Cahayu Organizer

Translate